karya-karya Jimmy Purba

Latest

Horas

Horas! Selamat Datang di Pustaha

Mengapa Pustaha?

pustaha“Pustaha” ialah ‘buku’ kuno beraksara dan berbahasa Batak yang terbuat kulit kayu. Seorang ‘Datu’ dalam masyarakat tradisional Batak, biasa menulis dalam Pustaha segala pengetahuannya tentang hari baik, ilmu pengobatan, kosmologi, dengan tujuan untuk melayani masyarakat.

Aku, Jimmy Purba, bukanlah seorang ‘Datu’, namun hanyalah seorang manusia biasa yang ingin berbagi cerita. Tentang banyak hal. Terutama yang menarik minatku selama ini: budaya masyarakat (khususnya pada etnis Batak (Toba),  sejarah, seni dan tentu saja juga  arsitektur, dunia yang kugeluti selama ini.

Di tengah berjalannya waktu keseharian, beberapa kesempatan untuk belajar tentang hal ini kadang datang begitu saja dan seringkali lupa untuk direnung-ulangkan. Sebagai bahan refleksi diri. Untuk terus belajar…

Dengan demikian, Pustaha ini adalah catatan-catatan pergumulan yang coba kukumpulkan dan akan terus kukumpulkan…

Renung

ada yang bergejolak dalam hatiku ketika,

(renung)
duniaku yang tiap waktu terus berjalan dan kugumuli,
yang kudamba sedari kecil dan sepertinya kukenal,
tapi kadang terasa asing…menjauh
apa dan mau apa?

(gelisah)
dalam ruang dan tempat yang sering tak terjangkau hati,
dalam dunia yang terasa semakin sesak dengan ketidak-menentuan,
yang menjungkirbalikkan logika dan nurani…
di balik keharusan untuk tetap bertahan dan dipaksa mengerti,
apa dan mau apa?

aku mau duduk dan melihat
aku mau sujud dan mendengar
aku mau meraba, mencium, dan mendelikkan hati
pada yang tersisa dari kearifan Ilahi,
dari kearifan alam dan gerak manusia tradisi
yang konon masih takut dan tunduk pada waktu-kehidupan
walau tetap arif dan jeli dalam menjaga talenta dariNya

aku mau merenung dalam (tidak)
diam…
aku mau apa?

‘ Hidup berdampingan dengan harmonis ‘

sebuah harapan dalam kegelisahan…

I. Dahulu,..
rumah bagi sekelompok manusia tidak hanya memiliki fungsi hunian yang bersifat ragawi, tetapi juga memiliki fungsi rohani/spiritual, yang menjadi pegangan yang kuat dalam sistem sosial dan kemasyarakatan mereka. Masyarakat yang bertradisi. Kita dapat melihat kampung-kampung tradisional memiliki tipologi bangunan dan fungsi yang relatif seragam karena diikat oleh aturan adat maupun nilai-nilai komunalitas yang kuat. Untuk berbeda dari yang lain, lingkungan harus mengaminkan semua.  Ada lembaga dan pranata sosial yang mengatur itu semua. Orang tidak serta merta bisa membuat rumah yang ‘mewah’,berbeda dari yang lain, hanya dikarenakan dia memiliki penghidupan yang lebih baik dari yang lain di lingkungannya. Sehingga terbentuklah sebuah tatanan perkampungan ataupun perumahan yang harmonis, tetapi juga tetap dapat tumbuh dan berkembang.

II. Saat ini,..
peradaban manusia berkembang, tatanan sosial pun berubah. Mereka yang hidup di kota, memiliki kesempatan untuk hidup berdampingan secara heterogen dan plural. Ada yang hidup dalam sebuah lingkungan hunian yang tumbuh secara alami,walaupun kadangkala tidak  sesuai peruntukan lahannya,yang kerap menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Ada juga yang berkesempatan untuk hidup di lingkungan perumahan yang dibuat atau dibangun oleh pengelola lingkungan, yang sering disebut sebagai pengembang/developer, sesuai  dengan peruntukannya di sebuah kawasan kota. 
Ada yang membeli lahan kosong (sebut saja kapling)  dan kemudian membangunnya sesuai selera ataupun di sebuah kawasan kompleks yang sudah siap huni dengan rumah jadi dan lingkungan yang sudah tertata.
Yang sering menjadi permasalahan di kalangan developer dan penghuni adalah antisipasi terhadap perkembangan dari pembangunan pasca huni. Bila di lahan yang hanya menjual kapling,mungkin calon pembeli ataupun penghuni lingkungan harus siap untuk bertetangga dengan berbagai macam bentuk rumah di lingkungannya. Tetapi ternyata hal ini juga sangat sering terjadi di perumahan yang siap huni.
Umumnya, yang paling banyak terjadi pertumbuhan dan perkembangan adalah bentuk pagar dan carport/area menaruh kendaraan di depan rumah (bila rumah tidak menyiapkan garasi). Atau juga warna cat dan pilihan material yang kemudian diganti sesuai dengan selera pembeli/penghuni. Bahkan ketinggian bangunan dan penambahan jumlah lantai adalah yang paling sering menjadi kendala bagi ke ‘serasia’ an di sebuah lingkungan perumahan.
Pertumbuhan dan perkembangan kadang tidak saja terjadi pada kepemilikan (properti) individu penghuni, bahkan juga fasilitas umum dan publik : seperti jalan,pepohonan,ruang terbuka, dapat beralih fungsi
tanpa sepengetahuan seluruh penghuni lingkungan.

Perubahan dan perkembangan tentu sah-sah saja, bahkan hal tersebut adalah sebuah indikasi adanya perkembangan yang baik dari penghuninya.
Tetapi bila perkembangan tersebut tidak terkontrol, maka yang terjadi adalah kompetisi selera individu untuk meng’hias’ rumah masing-masing yang berakibat pada terjadinya polusi visual. Tidak ada lagi tenggang rasa dan peduli pada tetangga ketika akan bertumbuh. Dari mulai gaya klasik hingga nano-nano (= semua rasa ada) kerap kali kita jumpai di satu lingkungan perumahan.
Jaman sudah berubah, urusan desain adalah urusan yang subyektif dan tergantung selera dan kebutuhan yang beragam. Penghuni juga bebas memilih arsitek pribadinya atau dapat menjadi ‘arsitek’ sendiri. 

III. Lalu,…
bagaimana mengantisipasi ini ? Hal yang sulit dan perlu strategi untuk mencari solusi terbaik. Tinggal bagaimana developer sebagai pengelola lingkungan dan dapat pula sebagai mediator perlu bertindak tidak hanya atas dasar untung-rugi. Tetapi juga dapat berfungsi sebagai lembaga kolektif sosial urusan desain dan lingkungan binaan.
Developer berkelas biasanya memang membuat rambu-rambu untuk itu semua. Ada guidelines design untuk mengantisipasi pertumbuhan pembangunan di lingkungannya, yang kadangkala juga terlanggar karena tarik ulur kepentingan cashflow dan keinginan pembeli. Mau merubah pagar atau warna dinding atau ganti atap ? Penghuni dapat berkonsultasi dengan developer yang siap melayani dan memberikan masukan yang optimal.
Tinggal sekarang perlu dilakukan komunikasi dan dialog yang intens dan berkelanjutan antara developer dengan calon pembeli, pembeli ataupun penghuni, hingga akan terbentuk sebuah    
komunitas lingkungan yang kompak dan bertenggang rasa. Yang mau melihat kiri dan kanan sebelum bertumbuh dan yang juga mau meredam egosentris ketika akan membangun. Lingkungan yang tertata baik dan harmonis adalah simbol kebersamaan dan ujud terjalinnya dialog yang baik antar penghuni maupun pengelolanya. Dan tentu saja akan menjadi sebuah investasi yang baik bagi pertumbuhan lingkungan di masa depan….
Semoga…

Bandung,16 Mei 2011
dibuat untuk buletin bulanan ‘Kalawarta’, Kota Baru Parahyangan

dalam waktu 003

Bakara,
sabtu, 23 April 2011

Prosesi Peresmian Tambak Op. Sibarung

Udara dingin dan angin yang menusuk,membuka hari ini dengan obrolan di samping rumah…

Setelah acara :

Hari yg melelahkan,setelah usai acara adat yg berkepanjangan. Sekarang ada waktu sejenak meluruskan kaki yg sedari tadi kerja keras menopang badan yg lalu lalang tak henti.
Prosesi adat yg baru kali ini kujalani utk acara seperti ini dihadiri oleh sekian banyak keluarga. Mungkin lebih dari 500 org yg datang silih berganti dari segala penjuru Bakara. Luar biasa. Ikatan persaudaraan yg sedemikian kental utk mampu menahan org utk tidak beranjak pergi sedari pagi hingga menjelang matahari terbenam.

Ini pengalaman baruku melihat prosesi ‘mangarihiti’ ,arti harafiahnya memperbaiki tambak,makam leluhur 5 generasi diatasku. Proses yg kulalui dari mulai wacana perbaikan, desain, peletakan batu pertama,hingga saat ini yaitu meresmikan dalam satu acara adat yang cukup besar dan
lengkap. Uniknya, bangunan fisik tambak tidak tersentuh dalam prosesi.  Tak ada ritual khusus utk tempat yg baru diperbaiki/dibangun itu. Acara adat dari awal hingga akhir intinya adalah mengundang lembaga gereja dan lembaga sosial Dalihan Na Tolu,yaitu Hula-hula,Dongan Sabutuha dan Boru yg memiliki hubungan langsung kepada leluhurku yg dimakamkan di situ,keturunannya Op. Sibarung Purba…

dalam waktu 002

tobali travel
medan – balige, 7 Sept 2011

Perjalanan panjang dari Medan menuju Balige. Singgah sebentar di sekitar Prapat utk makan siang.
Dengan menggunakan travel yg cukup sempit dan berjejalan, ternyata melelahkan juga. 
Hari ini rencana pengecekan terakhir utk RS HKBP Balige dan malam ini langsung ke Tarutung. 
Masih was-was dengan skedul yg sangat padat,mengingat progress di lapangan yg harus dikejar utk peresmian tgl 1 Oktober yad. Mungkinkah ?
Begitu banyak perkembangan di lapangan, mengingat renovasi yg terus membutuhkan penanganan dan dana yg dibutuhkan.
Semoga hasilnya sesuai dgn harapan, krn tak terasa sudah 1 th lebih, ini berjalan.
Udara sepoi2 membawa kantuk setelah perjalanan lebih dari 4 jam dr Medan. Segelas juice wortel mungkin pelepas dahaga dan penyegar tubuh yg efektif……

dalam waktu 001

lion air
jkt – padang, 7 april 2011

Cuaca di luar sana sungguh berkabut. Goncangan kecil sedari tadi terasa mengusik ketenangan sebagian penumpang pesawat ini. Semoga semua aman2 saja.
Terlihat di kejauhan pantai barat Sumatra yang sedikit bersembunyi di antara kabut tipis awan. Sementara ‘titik-titik mata’ pulau kecil terlihat dari ketinggian, sungguh eksotis. Pulau kecil dengan kehijauan dan  lingkaran pasir putih pantai yang mengelilinginya, membuatnya benar2 seperti mata yang sedang mengamatiku di sini.

Hem, ini satu lagi perjalanan tugas ke kota yang setahun lalu diluluhlantakkan oleh gempa, Padang.
Beberapa waktu lalu, aku sempat mampir kesini, tapi hanya transit untuk melanjutkan ke perjalanan ke Muarobungo di Jambi. Kali ini, aku tak mau melewatkan kota ini begitu saja. Memang sungguh beda dengan kesan kota budaya nan apik, yang dulu kurasakan semasa kecil ketika mampir ke sini. Konon, kota Padang berubah menjadi kota modern yg sepertinya telah kehilangan ikon budayanya. Benarkah ?…

Luta hotel, Toraja (030511/1.41 pm)


Luta ressort Toraja

Menarik rasanya melihat detail-detail yang belum sempat terpegang saat itu dan kini aku ada di dalamnya. Luta,…perjalanan yang panjang. Secara keseluruhan ruang yang terbentuk cukup baik dan sangat terbantu dengan desain interior yang mewah.
Portfolio yang bagus. Material yang beragam dipadu dalam warna yang lembut. Cukup jeli.
Hanya saja akan lebih optimal lagi bila bukaan ke arah sungai lebih besar dari yang ada sekarang. Ini memang pertimbangan yang panjang ketika itu. Mau ikut modul ruang atau mau bukaan yang besar. Kini, lukisan alam di depan seharusnya terekspos lebih banyak. Hamparan sawah hijau dan kabut tipis yang memeluk bukit-bukit kapur serta julangan atap rumah tradisional Toraja di kejauhan,nampak mengintip dari sudut kamar ini. Bila saja ….

Siang ini,hujan seperti dicurahkan dari langit. Suara sungai Sa’dang di belakang hotel semakin menambah suara air yang jatuh ke bumi. Begitu basahnya tanah,begitu dinginnya alam…

renovasi rs hkbp balige

Pertama kali aku menginjakkan kaki di sini, hanya teringat nama besar tempat ini di masa lalu. Tempat yg memberikan pelayanan terbaik di masanya dulu.

Kini, sungguh prihatin melihatnya. Kondisi lingkungan yang terbengkalai, infrastruktur yang parah dan pelayanan yang minim. Sisa-sisa kebesaran masih terlihat dari bangunan-bangunan peninggalan masa awal yang masih baik dan terbukti ideal bagi kondisi tropis. Sangat berbeda dengan bangunan baru yang dibuat (mungkin) tanpa peduli dengan bangunan yang lebih awal ada. Yang menurut hematku lebih apik.

Hemm,…harus dimulai dari mana ? Tugas untuk merenovasi, merevitalisasi dengan hanya sepenggal bagian dari keseluruhan lingkungan ini sebenarnya kurang memadai. Seharusnya perlu dibuat masterplan untuk ini semua. Harusnya ada guideline untuk ini semua, sehingga tidak semua pihak bisa mengacak-acak lingkungan ini. Bukannya semakin baik, tapi semakin kacau balau.
Sudahlah, …kita harus mulai dari yang ada…kesempatan ini harus disyukuri. Minimal ada upaya.

Semoga kebesaran namamu dan pelayananmu akan kembali dapat dinikmati oleh masyarakat yang mencintaimu….
Mari berkarya.

RS HKBP Balige 2010

huta di Muara

Ini adalah sebagian dari ‘huta’ (kampung tradisional) Batak Toba di Muara, Sumatera Utara

tugu simatupang

Ziarah Arsitektur di Bakara

Telah banyak liputan dan berita yang mengangkat Bakara, sebuah daerah berlembah di bagian selatan Danau Toba, sebagai sebuah tempat wisata yang layak dikunjungi bila kita berwisata ke daerah Tapanuli di Sumatera Utara. Yang paling banyak diekspos sebagai obyek wisata di Bakara adalah situs dari bekas ‘kerajaan’ Dinasti Sisingamangaraja di desa Lumbanraja dan juga tersebar di beberapa tempat di dataran Bakara.

Obyek lain, tentu saja panorama Bakara bila dilihat dari ketinggian, bila kita memasuki daerah Bakara dari arah selatan (dari Dolok Sanggul). Dua hal ini tidak habis-habisnya menjadi obyek yang dijadikan andalan wisata yang memang sangat menarik bila kita pertama kali mengunjungi Bakara.

Tulisan ini mengajak pembaca untuk menikmati wisata terhadap obyek-obyek lain yang sebenarnya juga banyak terdapat di daerah-daerah lain di Tapanuli, tetapi memiliki karakteristik khusus di lembah Bakara, yaitu wisata arsitektur. Pengertian tentang arsitektur tidaklah melulu bicara tentang bangunan, tetapi juga lingkungannya, terutama lingkungan sosial tempat dia berdiri. Bahkan, arsitektur dapat dikatakan sebagai representasi dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat pada jamannya.

Wisata arsitektur disini juga tidak terfokus hanya pada bangunan/rumah tradisional, yang jumlahnya sudah sangat sedikit di Bakara dan dikhawatirkan akan terus berkurang, sejalan dengan modernisasi dan pemahaman yang kurang tentang nilai arsitektur yang perlu dilestarikan. Wisata arsitektur mengajak kita untuk melihat pola-pola permukiman/perkampungan tradisional masyarakat Batak Toba (huta) di Bakara, pada masa dahulu dan perkembangannya hingga kini serta hubungannya dengan budaya Batak.

Lokasi

Cara pertama untuk memasuki kawasan Bakara, bila kita menggunakan kendaraan bermotor dari Medan adalah melalui jalur selatan, yaitu melalui kota Dolok Sanggul (ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan). Alternatif lain adalah melalui jalur utara, yaitu melalui Muara, yang relatif lebih jelek kondisi jalannya. Setelah berkendaran lebih kurang 6 jam dari Medan dan kemudian sekira 20 menit dari pertigaan sebelum memasuki kota Dolok Sanggul ke arah Bakara, kita masih disuguhi oleh pemandangan perkampungan di antara semak belukar dan hutan-hutan pinus yang mulai gundul. Sesekali terlihat beberapa perkebunan kopi sigarar utang penduduk yang mulai ramai diusahakan sejak beberapa tahun yang lalu. Kejutan visual baru terjadi setelah sebuah turunan panjang dan kemudian tanjakan yang terjal serta belokan yang tajam, sebagai sebuah persiapan untuk kita memasuki lembah Bakara dari ketinggian.

clip_image002

gbr. 1 : Lembah Bakara dilihat dari ketinggian, memperlihatkan pola-pola huta di antara

sistem irigasi pertanian yang berbataskan oleh bukit-bukit batu dan Danau Toba di kejauhan.

(Foto : Edward T. Siahaan)

Sebuah pemandangan yang menakjubkan ke arah lembah Bakara dan Danau Toba dari ketinggian beberapa ratus meter, disuguhkan sepanjang jalan turun. Awalnya, kita akan mengintip pemandangan diantara pohon pinus yang tersisa di sisi jalan turun untuk kemudian sebuah pemandangan alam telanjang berada di depan mata.

Ada baiknya kita berhenti sejenak di tengah perjalanan turun untuk melihat Bakara dari ketinggian dan memulai wisata kita yang sebenarnya. Dari atas kita bisa melihat pola-pola huta khas masyarakat Batak Toba yang telah berumur ratusan tahun. Sebuah pola perkampungan yang dahulunya berbentuk koloni-koloni tertutup dan dibatasi oleh dinding tanah/batu di sekelilingnya (parik ni huta), yang kini mulai terlihat lebih ‘terbuka’, terutama setelah dilintasi oleh jalur transportasi kendaraan bermotor (tidak semua jalan-jalan yang menghubungkan huta-huta di Bakara dapat dilalui oleh mobil kecuali sepeda motor).

Huta

Dahulu, tiap-tiap huta tradisional Batak Toba adalah sebuah daerah mandiri dan merdeka yang umumnya dihuni oleh 10-20 rumah (ruma) dan lumbung (sopo) tradisional. Setiap huta memiliki pemimpin kampung atau disebut raja ni huta, yang umumnya adalah pendiri kampung tersebut atau keturunannya. Untuk alasan tertentu, misalnya sebuah kampung sudah terlalu sempit, maka raja ni huta dapat membuka huta baru yang umumnya terletak berdekatan dari huta yang lama. Sehingga, kita juga dapat melihat dan menganalisis bentuk huta induk yang relatif lebih besar, dan huta baru yang bentuknya lebih kecil dari ketinggian di atas dataran Bakara. Di sekeliling huta juga masih terlihat hamparan sawah/ladang yang menjadi golat (tanah pembagian adat yang menjadi garapan penghuni huta) mereka.

clip_image004

gbr. 2 : Salah satu tipologi huta dilihat dari ketinggian. Huta merupakan

koloni tertutup dan merdeka pada masa tradisional. (Foto : koleksi pribadi)

Pola perkampungan dan huta

Setelah melewati jalan menurun yang curam dan berliku-liku, perlahan-lahan kita akan sampai pada dataran Bakara yang luas. Dari dataran ini kita akan bisa menikmati suasana perkampungan Batak dengan menelusuri huta-huta di Bakara, yang tadinya kita nikmati dari ketinggian, hingga berakhir di pinggiran Danau Toba. Pengalaman ruang yang berbeda dari ke-dua posisi pandang tadi turut memperkaya upaya untuk mengenal karakteristik perkampungan Batak masa kini.

Masyarakat Batak Toba tradisional yang berlatar belakang masyarakat agraris, umumnya memang memilih daerah lembah yang relatif datar untuk bermukim. Selain ketersediaan air yang berlimpah, daerah kaki bukit adalah daerah yang ideal untuk menempatkan hutahuta tradisional di Bakara, agar terhindar dari kerasnya angin pegunungan. Umumnya hutahuta yang berada di kaki bukit dibuat dengan mengelompokkan ruma dan sopo sejajar ataupun tegak lurus dengan dengan kontur bukit. Muka ruma dan sopo juga umumnya tidak menghadap ke arah Timur. Menurut keterangan masyarakat sekitar, hanya rumaruma di huta keluarga Si Singamangaraja di Lumbanraja yang menghadap ke arah Timur.

Perbedaan dan perkembangan pola perkampungan masa kini yang terlihat adalah berubahnya orientasi ruma dan sopo, yang tadinya menghadap ke alaman (halaman tengah huta), menjadi ke arah jalan. Hal ini terjadi setelah dibuatnya jalur transportasi kendaraan yang menghubungkan antar huta atau kampung. Hutahuta yang tidak langsung dilalui oleh jalan umumnya tetap pada pola aslinya, kecuali hutahuta yang dilalui langsung (jalan kendaraan bermotor melintasi alaman mereka). Beberapa bangunan yang dibangun pada masa kini lebih memilih berada di pinggiran jalan dan menghadap langsung ke jalan. Sehingga pola-pola perkampungan khas masyarakat Batak dulu lambat laun mulai hilang.

clip_image006

gbr. Huta yang berada di kaki bukit dan posisi ruma/sopo sejajar kontur bukit.

Jalan kendaraan bermotor yang melintasi alaman sebuah huta

kadang mengubah orientasi pola permukiman sebelumnya.

Obyek-obyek wisata yang terlupakan

Sepengetahuan penulis, di Bakara tidak ada lagi sebuah huta tradisional yang masih utuh, seperti halnya di Simanindo – Samosir ataupun di Lumbanjulu – Porsea. Namun beberapa tempat di Bakara, kita masih dapat melihat beberapa elemen huta tradisional yang tersisa dan layak dilihat sebagai bagian dari rangkaian wisata kita. Seperti : harbangan (gerbang huta, berupa susunan batu-batu besar yang dibuat membentuk gerbang), parik (pagar dari susunan batu) yang mengelilingi huta, pohon-pohon besar seperti jenis hariara, beringin, yang umumnya ditanam di depan huta, sebagai penanda masuk ke dalam huta dan tempat partungkoan (tempat berkumpul di bagian depan huta).

clip_image008

gbr. 3 : Harbangan dan parik yang masih tersisa dan tak

terpakai lagi di salah satu huta di desa Siunong-unong Julu,

Bakara. (Foto : Koleksi pribadi)

Selain itu, di banyak tempat di seluruh dataran Bakara terdapat sumber air yang berupa mata air di kolam kecil (homban) maupun telaga (mual), yang biasanya dimiliki oleh huta, sebagai salah satu perlengkapan dari pola permukiman tradisional Batak Toba. Hampir seluruh sumber-sumber ini menghasilkan air yang sangat jernih, sehingga hal ini pulalah yang menjadikan seluruh dataran Bakara memiliki kelimpahan air untuk menghidupi mereka.

Tanah Bakara atau Bius Bakara, yang terbentang dari Selatan hingga perbatasan dengan Danau Toba di bagian Utara, adalah sebuah kawasan persekutuan dari 6 marga masyarakat Batak Toba yang dinamakan si Onom Ompu (Enam Keturunan/Marga). Marga-marga pembuka dan pemilik seluruh dataran Bakara di masa-masa tradisional adalah : Manullang dan Marbun di bagian pingiran Danau Toba, kemudian Sinambela, Bakara dan Sihite di bagian tengah, serta marga Purba di bagian ujung kaki bukit sebelah Selatan. Marga-marga inilah yang menghuni dan membentuk ikatan …. memiliki hak pengusahaan atas tanah adat di Bakara, yang disebut horja,

Bius Bakara memiliki 1 onan (pasar tradisional). Onan Bakara terletak di bagian ujung Utara dataran, dan berada tepat di pinggir Danau Toba. Konon, onan di Bakara merupakan pintu masuk utama dan bahkan satu-satunya di masa lalu, yang menghubungkan Bakara dengan dunia luar. Transportasi danau menjadi satu-satunya alternatif transportasi saat itu, kecuali berjalan kaki menyusuri punggung bukit. Hal ini menjadikan Bakara menjadi tempat yang sangat terisolir di masa lalu.

Seperti halnya pasar-pasar masyarakat tradisional, onan di Bakara hanya berlangsung secara temporal (seminggu sekali). Sehingga pada hari-hari tanpa onan, yang terlihat hanyalah kios-kios atau lapak-lapak sederhana yang kosong, tanpa penghuni. Kapal-kapal sebagai alat angkut yang biasanya meramaikan onan juga jarang terlihat. Sepintas, tak ada yang menarik untuk dilihat.

Keberadaan onan menjadi menarik bila kita telusuri maknanya bagi masyarakat tradisional Batak. Onan tidak saja memiliki fungsi tempat jual beli seperti pengertian umum yang dikenal. Di masa lalu, onan adalah sebuah institusi sosial dan hukum yang menghubungkan dan mengikat antar wilayah maupun hubungan bius dengan dunia luar. Bahkan, di masa lalu, beberapa onan juga berfungsi sebagai “ ibukota propinsi/negara bagian”. Onan dianggap sebagai institusi paling efektif dan sokoguru tertib hukum Batak Toba. (Toba na Sae hal. 160).

Salah satu penanda keberadaan onan, biasanya ditanam pohon beringin oleh setiap horja (perkumpulan/persekutuan marga dalam sistem pertanian) dalam bius tersebut. Seperti di Bakara, selain 6 buah pohon beringin sebagai wakil dari horja Si Onom Ompu, konon ada pohon ke – 7 yang ditanam di tengah mewakili Singamangaraja. Keberadaan pohon tersebut dan pohon lainnya mungkin telah terlupakan atau memang sudah tak tersisa lagi karena usia.

Penutup

Demikianlah wisata kita di tanah Bakara, yang menyimpan banyak cerita dari obyek-obyek yang mungkin telah terlupakan dari sisa-sisa kebudayaan Batak Toba lama di sana. Sayangnya, banyak sekali obyek-obyek tersebut yang terbengkalai, bahkan sengaja dihilangkan akibat kurangnya pemahaman tentang pentingnya artefak ataupun obyek peninggalan kebudayaan lama ini bagi khasanah kebudayaan Batak, khususnya Batak Toba. Obyek-obyek tersebut, selain tentunya situs peninggalan Raja SiSingamangaraja yang tersebar di hampir seluruh dataran Bakara, memiliki potensi tinggi bagi wisata arsitektur, antropologi serta ilmu-ilmu tentang sosial-kebudayaan lainnya.

Mengingat semakin sulitnya menemukan peninggalan kebudayaan Batak yang terpelihara dan terjaga, bahkan di luar Bakara sekalipun, alangkah bijaknya bila Pemerintah setempat melakukan pendataan terhadap obyek-obyek tersebut. Dengan memiliki data-data tentang obyek ataupun artefak dari kebudayaan tradisional Batak Toba, maka upaya untuk melestarikan dan mengenal identitas kebudayaan akan semakin mudah dilakukan.