Telah banyak liputan dan berita yang mengangkat Bakara, sebuah daerah berlembah di bagian selatan Danau Toba, sebagai sebuah tempat wisata yang layak dikunjungi bila kita berwisata ke daerah Tapanuli di Sumatera Utara. Yang paling banyak diekspos sebagai obyek wisata di Bakara adalah situs dari bekas ‘kerajaan’ Dinasti Sisingamangaraja di desa Lumbanraja dan juga tersebar di beberapa tempat di dataran Bakara.
Obyek lain, tentu saja panorama Bakara bila dilihat dari ketinggian, bila kita memasuki daerah Bakara dari arah selatan (dari Dolok Sanggul). Dua hal ini tidak habis-habisnya menjadi obyek yang dijadikan andalan wisata yang memang sangat menarik bila kita pertama kali mengunjungi Bakara.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk menikmati wisata terhadap obyek-obyek lain yang sebenarnya juga banyak terdapat di daerah-daerah lain di Tapanuli, tetapi memiliki karakteristik khusus di lembah Bakara, yaitu wisata arsitektur. Pengertian tentang arsitektur tidaklah melulu bicara tentang bangunan, tetapi juga lingkungannya, terutama lingkungan sosial tempat dia berdiri. Bahkan, arsitektur dapat dikatakan sebagai representasi dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat pada jamannya.
Wisata arsitektur disini juga tidak terfokus hanya pada bangunan/rumah tradisional, yang jumlahnya sudah sangat sedikit di Bakara dan dikhawatirkan akan terus berkurang, sejalan dengan modernisasi dan pemahaman yang kurang tentang nilai arsitektur yang perlu dilestarikan. Wisata arsitektur mengajak kita untuk melihat pola-pola permukiman/perkampungan tradisional masyarakat Batak Toba (huta) di Bakara, pada masa dahulu dan perkembangannya hingga kini serta hubungannya dengan budaya Batak.
Lokasi
Cara pertama untuk memasuki kawasan Bakara, bila kita menggunakan kendaraan bermotor dari Medan adalah melalui jalur selatan, yaitu melalui kota Dolok Sanggul (ibukota Kabupaten Humbang Hasundutan). Alternatif lain adalah melalui jalur utara, yaitu melalui Muara, yang relatif lebih jelek kondisi jalannya. Setelah berkendaran lebih kurang 6 jam dari Medan dan kemudian sekira 20 menit dari pertigaan sebelum memasuki kota Dolok Sanggul ke arah Bakara, kita masih disuguhi oleh pemandangan perkampungan di antara semak belukar dan hutan-hutan pinus yang mulai gundul. Sesekali terlihat beberapa perkebunan kopi sigarar utang penduduk yang mulai ramai diusahakan sejak beberapa tahun yang lalu. Kejutan visual baru terjadi setelah sebuah turunan panjang dan kemudian tanjakan yang terjal serta belokan yang tajam, sebagai sebuah persiapan untuk kita memasuki lembah Bakara dari ketinggian.
gbr. 1 : Lembah Bakara dilihat dari ketinggian, memperlihatkan pola-pola huta di antara
sistem irigasi pertanian yang berbataskan oleh bukit-bukit batu dan Danau Toba di kejauhan.
(Foto : Edward T. Siahaan)
Sebuah pemandangan yang menakjubkan ke arah lembah Bakara dan Danau Toba dari ketinggian beberapa ratus meter, disuguhkan sepanjang jalan turun. Awalnya, kita akan mengintip pemandangan diantara pohon pinus yang tersisa di sisi jalan turun untuk kemudian sebuah pemandangan alam telanjang berada di depan mata.
Ada baiknya kita berhenti sejenak di tengah perjalanan turun untuk melihat Bakara dari ketinggian dan memulai wisata kita yang sebenarnya. Dari atas kita bisa melihat pola-pola huta khas masyarakat Batak Toba yang telah berumur ratusan tahun. Sebuah pola perkampungan yang dahulunya berbentuk koloni-koloni tertutup dan dibatasi oleh dinding tanah/batu di sekelilingnya (parik ni huta), yang kini mulai terlihat lebih ‘terbuka’, terutama setelah dilintasi oleh jalur transportasi kendaraan bermotor (tidak semua jalan-jalan yang menghubungkan huta-huta di Bakara dapat dilalui oleh mobil kecuali sepeda motor).
Huta
Dahulu, tiap-tiap huta tradisional Batak Toba adalah sebuah daerah mandiri dan merdeka yang umumnya dihuni oleh 10-20 rumah (ruma) dan lumbung (sopo) tradisional. Setiap huta memiliki pemimpin kampung atau disebut raja ni huta, yang umumnya adalah pendiri kampung tersebut atau keturunannya. Untuk alasan tertentu, misalnya sebuah kampung sudah terlalu sempit, maka raja ni huta dapat membuka huta baru yang umumnya terletak berdekatan dari huta yang lama. Sehingga, kita juga dapat melihat dan menganalisis bentuk huta induk yang relatif lebih besar, dan huta baru yang bentuknya lebih kecil dari ketinggian di atas dataran Bakara. Di sekeliling huta juga masih terlihat hamparan sawah/ladang yang menjadi golat (tanah pembagian adat yang menjadi garapan penghuni huta) mereka.
gbr. 2 : Salah satu tipologi huta dilihat dari ketinggian. Huta merupakan
koloni tertutup dan merdeka pada masa tradisional. (Foto : koleksi pribadi)
Pola perkampungan dan huta
Setelah melewati jalan menurun yang curam dan berliku-liku, perlahan-lahan kita akan sampai pada dataran Bakara yang luas. Dari dataran ini kita akan bisa menikmati suasana perkampungan Batak dengan menelusuri huta-huta di Bakara, yang tadinya kita nikmati dari ketinggian, hingga berakhir di pinggiran Danau Toba. Pengalaman ruang yang berbeda dari ke-dua posisi pandang tadi turut memperkaya upaya untuk mengenal karakteristik perkampungan Batak masa kini.
Masyarakat Batak Toba tradisional yang berlatar belakang masyarakat agraris, umumnya memang memilih daerah lembah yang relatif datar untuk bermukim. Selain ketersediaan air yang berlimpah, daerah kaki bukit adalah daerah yang ideal untuk menempatkan huta–huta tradisional di Bakara, agar terhindar dari kerasnya angin pegunungan. Umumnya huta–huta yang berada di kaki bukit dibuat dengan mengelompokkan ruma dan sopo sejajar ataupun tegak lurus dengan dengan kontur bukit. Muka ruma dan sopo juga umumnya tidak menghadap ke arah Timur. Menurut keterangan masyarakat sekitar, hanya ruma–ruma di huta keluarga Si Singamangaraja di Lumbanraja yang menghadap ke arah Timur.
Perbedaan dan perkembangan pola perkampungan masa kini yang terlihat adalah berubahnya orientasi ruma dan sopo, yang tadinya menghadap ke alaman (halaman tengah huta), menjadi ke arah jalan. Hal ini terjadi setelah dibuatnya jalur transportasi kendaraan yang menghubungkan antar huta atau kampung. Huta–huta yang tidak langsung dilalui oleh jalan umumnya tetap pada pola aslinya, kecuali huta–huta yang dilalui langsung (jalan kendaraan bermotor melintasi alaman mereka). Beberapa bangunan yang dibangun pada masa kini lebih memilih berada di pinggiran jalan dan menghadap langsung ke jalan. Sehingga pola-pola perkampungan khas masyarakat Batak dulu lambat laun mulai hilang.
gbr. Huta yang berada di kaki bukit dan posisi ruma/sopo sejajar kontur bukit.
Jalan kendaraan bermotor yang melintasi alaman sebuah huta
kadang mengubah orientasi pola permukiman sebelumnya.
Obyek-obyek wisata yang terlupakan
Sepengetahuan penulis, di Bakara tidak ada lagi sebuah huta tradisional yang masih utuh, seperti halnya di Simanindo – Samosir ataupun di Lumbanjulu – Porsea. Namun beberapa tempat di Bakara, kita masih dapat melihat beberapa elemen huta tradisional yang tersisa dan layak dilihat sebagai bagian dari rangkaian wisata kita. Seperti : harbangan (gerbang huta, berupa susunan batu-batu besar yang dibuat membentuk gerbang), parik (pagar dari susunan batu) yang mengelilingi huta, pohon-pohon besar seperti jenis hariara, beringin, yang umumnya ditanam di depan huta, sebagai penanda masuk ke dalam huta dan tempat partungkoan (tempat berkumpul di bagian depan huta).
gbr. 3 : Harbangan dan parik yang masih tersisa dan tak
terpakai lagi di salah satu huta di desa Siunong-unong Julu,
Bakara. (Foto : Koleksi pribadi)
Selain itu, di banyak tempat di seluruh dataran Bakara terdapat sumber air yang berupa mata air di kolam kecil (homban) maupun telaga (mual), yang biasanya dimiliki oleh huta, sebagai salah satu perlengkapan dari pola permukiman tradisional Batak Toba. Hampir seluruh sumber-sumber ini menghasilkan air yang sangat jernih, sehingga hal ini pulalah yang menjadikan seluruh dataran Bakara memiliki kelimpahan air untuk menghidupi mereka.
Tanah Bakara atau Bius Bakara, yang terbentang dari Selatan hingga perbatasan dengan Danau Toba di bagian Utara, adalah sebuah kawasan persekutuan dari 6 marga masyarakat Batak Toba yang dinamakan si Onom Ompu (Enam Keturunan/Marga). Marga-marga pembuka dan pemilik seluruh dataran Bakara di masa-masa tradisional adalah : Manullang dan Marbun di bagian pingiran Danau Toba, kemudian Sinambela, Bakara dan Sihite di bagian tengah, serta marga Purba di bagian ujung kaki bukit sebelah Selatan. Marga-marga inilah yang menghuni dan membentuk ikatan …. memiliki hak pengusahaan atas tanah adat di Bakara, yang disebut horja,
Bius Bakara memiliki 1 onan (pasar tradisional). Onan Bakara terletak di bagian ujung Utara dataran, dan berada tepat di pinggir Danau Toba. Konon, onan di Bakara merupakan pintu masuk utama dan bahkan satu-satunya di masa lalu, yang menghubungkan Bakara dengan dunia luar. Transportasi danau menjadi satu-satunya alternatif transportasi saat itu, kecuali berjalan kaki menyusuri punggung bukit. Hal ini menjadikan Bakara menjadi tempat yang sangat terisolir di masa lalu.
Seperti halnya pasar-pasar masyarakat tradisional, onan di Bakara hanya berlangsung secara temporal (seminggu sekali). Sehingga pada hari-hari tanpa onan, yang terlihat hanyalah kios-kios atau lapak-lapak sederhana yang kosong, tanpa penghuni. Kapal-kapal sebagai alat angkut yang biasanya meramaikan onan juga jarang terlihat. Sepintas, tak ada yang menarik untuk dilihat.
Keberadaan onan menjadi menarik bila kita telusuri maknanya bagi masyarakat tradisional Batak. Onan tidak saja memiliki fungsi tempat jual beli seperti pengertian umum yang dikenal. Di masa lalu, onan adalah sebuah institusi sosial dan hukum yang menghubungkan dan mengikat antar wilayah maupun hubungan bius dengan dunia luar. Bahkan, di masa lalu, beberapa onan juga berfungsi sebagai “ ibukota propinsi/negara bagian”. Onan dianggap sebagai institusi paling efektif dan sokoguru tertib hukum Batak Toba. (Toba na Sae hal. 160).
Salah satu penanda keberadaan onan, biasanya ditanam pohon beringin oleh setiap horja (perkumpulan/persekutuan marga dalam sistem pertanian) dalam bius tersebut. Seperti di Bakara, selain 6 buah pohon beringin sebagai wakil dari horja Si Onom Ompu, konon ada pohon ke – 7 yang ditanam di tengah mewakili Singamangaraja. Keberadaan pohon tersebut dan pohon lainnya mungkin telah terlupakan atau memang sudah tak tersisa lagi karena usia.
Penutup
Demikianlah wisata kita di tanah Bakara, yang menyimpan banyak cerita dari obyek-obyek yang mungkin telah terlupakan dari sisa-sisa kebudayaan Batak Toba lama di sana. Sayangnya, banyak sekali obyek-obyek tersebut yang terbengkalai, bahkan sengaja dihilangkan akibat kurangnya pemahaman tentang pentingnya artefak ataupun obyek peninggalan kebudayaan lama ini bagi khasanah kebudayaan Batak, khususnya Batak Toba. Obyek-obyek tersebut, selain tentunya situs peninggalan Raja SiSingamangaraja yang tersebar di hampir seluruh dataran Bakara, memiliki potensi tinggi bagi wisata arsitektur, antropologi serta ilmu-ilmu tentang sosial-kebudayaan lainnya.
Mengingat semakin sulitnya menemukan peninggalan kebudayaan Batak yang terpelihara dan terjaga, bahkan di luar Bakara sekalipun, alangkah bijaknya bila Pemerintah setempat melakukan pendataan terhadap obyek-obyek tersebut. Dengan memiliki data-data tentang obyek ataupun artefak dari kebudayaan tradisional Batak Toba, maka upaya untuk melestarikan dan mengenal identitas kebudayaan akan semakin mudah dilakukan.